Membicarakan Bangka berarti
membicarakan tradisi yang ada di dalamnya yang dimana tradisi yang sudah ada
sejak jaman dulu. Tradisi yang masih melekat dalam ranah tanah Bangka adalah
Nganggung, yaitu sebuah kegiatan membawa dulang berisi makanan ke mesjid atau
langgar. Nganggung merupakan rangkaian kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai
kebersamaan, saling membantu antarwarga dalam suatu desa atau kampung.
Meski dihadapkan dengan derasnya hantaman zaman, kegiatan ini masih berlanjut
dan diapresiasi masyarakat dalam berbagai kepentingan yang termaktub di
dalamnya. Nganggung dilakukan untuk menyambut datangnya hari besar keagamaan,
menghormati orang yang meninggal dunia atau menyambut kedatangan tamu besar,
seperti gubernur atau bupati.
Terlepas dari apa kepentingan tamu ini, bagi warga, tamu tetap harus disambut,
dijunjung tinggi dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Cara atau bentuk pelayanan
itu adalah memberikan makanan secukupnya—atau bisa dibilang,
sekenyang-kenyangnya—kepada sang tamu.
Di Kabupaten Bangka, upaya formal yang dilakukan terkait kegiatan nganggung ini
bahkan dibentuk dalam sebuah perda bernomor 06/PD/DPRD/1971, yang disebut
kegiatan sepintu sedulang.
Jika ditilik, kegiatan nganggung untuk menyambut hari besar keagamaan ini sudah
menyeluruh di berbagai daerah di Pulau Bangka. Kegiatan nganggung pun kerap
dilakukan masyarakat Bangka untuk membantu keluarga yang mengalami musibah.
Seperti 7 hari, 25 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian seseorang,
biasanya dilakukan nganggung. Tanpa dikomandoi siapapun, selepas maghrib warga spontan
langsung ke mesjid atau ke balai adat dengan membawa dulang. Di beberapa
wilayah di Bangka terutama di desa petaling melakukannya sebelum shalat Jumat,
antara pukul 09.00 hingga 11.00 (siang).
Meski dihadapkan dengan derasnya hantaman zaman, kegiatan ini masih berlanjut dan diapresiasi masyarakat dalam berbagai kepentingan yang termaktub di dalamnya. Nganggung dilakukan untuk menyambut datangnya hari besar keagamaan, menghormati orang yang meninggal dunia atau menyambut kedatangan tamu besar, seperti gubernur atau bupati.
Terlepas dari apa kepentingan tamu ini, bagi warga, tamu tetap harus disambut, dijunjung tinggi dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Cara atau bentuk pelayanan itu adalah memberikan makanan secukupnya—atau bisa dibilang, sekenyang-kenyangnya—kepada sang tamu.
Di Kabupaten Bangka, upaya formal yang dilakukan terkait kegiatan nganggung ini bahkan dibentuk dalam sebuah perda bernomor 06/PD/DPRD/1971, yang disebut kegiatan sepintu sedulang.
Jika ditilik, kegiatan nganggung untuk menyambut hari besar keagamaan ini sudah menyeluruh di berbagai daerah di Pulau Bangka. Kegiatan nganggung pun kerap dilakukan masyarakat Bangka untuk membantu keluarga yang mengalami musibah. Seperti 7 hari, 25 hari, 40 hari dan 100 hari setelah kematian seseorang, biasanya dilakukan nganggung. Tanpa dikomandoi siapapun, selepas maghrib warga spontan langsung ke mesjid atau ke balai adat dengan membawa dulang. Di beberapa wilayah di Bangka terutama di desa petaling melakukannya sebelum shalat Jumat, antara pukul 09.00 hingga 11.00 (siang).
Tafsiran nganggung di sini adalah membantu keluarga yang
ditinggalkan, sebab dalam terminologi tradisi Bangka, kegiatan tahlilan untuk
orang yang meninggal dunia disudahi dengan kegiatan makan-makan. Makanan ini
dibawa oleh warga yang juga sebagai peserta tahlilan. Jenis makanannya beragam,
ada kue, ada pula nasi lengkap dengan lauk-pauknya.
Kegiatan nganggung tidak hanya dilakukan di Kabupaten Bangka saja, tapi juga dilakukan di daerah lainnya di Provinsi Bangka Belitung, hanya saja dan acara dan event-nya berbeda. Untuk perayaan yang besar-besaran masih agak berbeda. Jika di Bangka Barat ada Perang Ketupat, di Bangka Selatan ada 1 Muharram-an, di Kabupaten Bangka Tengah ada perayaan 1 Maulud-an, maka di Kabupaten Bangka Induk ada Rebo Kasan atau Ruahan dan acara lainnya contohnya saja didaerah air anyir dan tempilang. Jadi, sebenarnya nganggung adalah ajang silaturahmi antarwarga.
Di sisi lain, nganggung sendiri ditujukan untuk menggalakkan solidaritas berjamaah yang mungkin mulai pudar. Makin berkembangnya nganggung di hari-hari besar agama Islam hingga pada acara kematian merupakan wujud kepedulian masyarakat untuk membesarkan hati keluarga yang berduka. “Nganggung juga merupakan wujud gotong-royong antarwarga dan perlu dilestarikan,” kata tokoh masyarakat setempat.
Kegiatan nganggung tidak hanya dilakukan di Kabupaten Bangka saja, tapi juga dilakukan di daerah lainnya di Provinsi Bangka Belitung, hanya saja dan acara dan event-nya berbeda. Untuk perayaan yang besar-besaran masih agak berbeda. Jika di Bangka Barat ada Perang Ketupat, di Bangka Selatan ada 1 Muharram-an, di Kabupaten Bangka Tengah ada perayaan 1 Maulud-an, maka di Kabupaten Bangka Induk ada Rebo Kasan atau Ruahan dan acara lainnya contohnya saja didaerah air anyir dan tempilang. Jadi, sebenarnya nganggung adalah ajang silaturahmi antarwarga.
Di sisi lain, nganggung sendiri ditujukan untuk menggalakkan solidaritas berjamaah yang mungkin mulai pudar. Makin berkembangnya nganggung di hari-hari besar agama Islam hingga pada acara kematian merupakan wujud kepedulian masyarakat untuk membesarkan hati keluarga yang berduka. “Nganggung juga merupakan wujud gotong-royong antarwarga dan perlu dilestarikan,” kata tokoh masyarakat setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar